Faith Over The Fear kali ini akan membawa Anda mengenal sosok pendiri Luxina, media lifestyle digital terdepan masa kini. Orang-orang mengenal Dean Syahmedi sebagai sosok yang menyenangkan dan banyak berkecimpung dalam media serta fashion. Luxina sendiri berdiri tahun 2017 dan akses ke Luxina semakin meninggi saat pandemi.
Dean memaknai setiap perubahan era dari media cetak ke media digital dengan santainya, namun konsisten dalam mengikuti perkembangannya. Dahulu orang-orang ke salon dengan media cetak di tangan. Namun sekarang mereka ke salon dengan obrolan interaktif di Whatsapp Group.
Anak Seni Rupa yang Sangat Mencintai Media
Pria kelahiran Medan 55 tahun lalu ini setelah lulus SMU memilih melanjutkan sekolah di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Latar belakang pendidikannya ini membawa Dean mendapatkan pekerjaan bonafit sebagai Grafik Desainer di Majalah Femina.
Kemudian Dean melihat ruang editorial begitu menarik sehingga ia berusaha keras untuk bisa bekerja di divisi itu. Menurut Dean, ia yang punya rasa iri pada mereka yang bekerja di ruang editorial ternyata berhasil membawanya menemukan passion. Sebuah anugerah yang ia syukuri karena bekerja sebagai editor ternyata cukup fleksibel dari segi waktu dan bobot pekerjaannya membuatnya jadi lebih banyak belajar.
Dean yang bekerja di media pada zaman Soeharto ini mendapat inspirasi tentang fashion justru dari ibunya yang seorang penjahit. Orang Minang laki-laki menurut Dean akan belajar menjahit dengan pamannya hingga ia pun berhasil menjadi seseorang yang bisa menjahit baju-baju pria. Latar belakang ini tentu sangat membantunya dalam pekerjaan di bidang fashion.
Fashion bagi Dean adalah karya seni dari kacamatanya sebagai orang desain. Tapi, dari kemampuannya menjahit, ia bisa membedah polanya. Saat Dean harus bekerja di luar negeri seperti di Milan atau Paris, kemampuan membedah pola dan mereview fashionnya sangat membantu sekali.
Persona yang Cair dan Tajam
Dean Syahmedi sudah menjalani kehidupan sebagai sosok yang bekerja di balik layar penentuan bersama Femina sejak 28 tahun lalu. Perkembangan media dulu dan sekarang tentu sangat jauh berbeda di mata Dean. Dahulu media begitu hati-hati dalam membuat konten di bawah kepemimpinan orang-orang profesional dengan dedikasi tinggi.
Media cetak sangat mahal untuk sekali cetak berita. Maka dari itu, sebelum sampai ke end user, para editor dan end reader yang bekerja di balik layar harus memastikan semua sesuai pada tracknya tanpa kesalahan sedikit pun.
Dean sangat terbuka untuk mempelajari apapun yang sangat bermanfaat dalam pekerjaannya. Ia menyenangi membaca dan melatih imajinasinya untuk bisa menulis bagus.
Akses informasi saat ini sangat mudah orang-orang terima. Para pelaku media menurut Dean sangat spesifik saat ini untuk mengejar komunitas seperti apa. Dean termasuk sosok yang cair dan bisa berkolaborasi dengan orang-orang dari kalangan apapun serta dari kelompok umur manapun.
Universe dalam Media Apapun
Bagi Dean, universe dan networking sangat membantu dia untuk beradaptasi terhadap perubahan dari media cetak ke digital. Sebagai anak seni rupa, Dean membuat logo yang serius untuk Luxina. Bersama tim yang solid dan saling memahami sejak di media cetak terdahulu, Dean berjalan saja di media digital ini dan mengesampingkan rasa takutnya.
Pandemi telah membuat universe yang seru karena orang-orang mulai bekerja dari rumah. Dean dan Luxina juga berhasil menghadapi pandemi dengan lockdownnya itu meski umur media ini masih sangat muda. Hasilnya justru sangat memuaskan karena setelah pandemi usai mereka rupanya menemukan kenyaman dalam kerja virtual sampai sekarang.
Kolaborasi adalah Kuncinya
Dean juga memanfaatkan stock shoot dalam gawai favoritnya untuk mengisi waktu saat pandemi. Ia mengisi laman Instagramnya dengan video-video keren kekinian yang memiliki nilai tinggi. Ini melatih Dean untuk peka dalam membuat konten digital.
Dean yang seorang pembelajar melihat akan ada suatu pergeseran kultur dalam dunia kreatif ini.
Dalam kreativitas, Dean juga pernah sedikit gagal saat dia merasa tidak berada dalam universe itu. Ia membuat Boyband Smash bersama teman-temannya hingga bisa mendapat banyak penghargaan di tengah maraknya pembajakan karya.
Namun, itu tidak berlanjut dan dia tak berhasil membuat dua boyband lainnya. Ini jadi pembelajaran bagi Dean bahwa dia yang orang visual saat bertemu dengan orang-orang audio ternyata bisa menghasilkan sesuatu yang great.
Dean mendapat network melimpah setelah kegagalan demi kegagalan di media dan itu sangat berarti. Dean pikir tidak ada hal yang seratus persen berhasil. Tapi, pasti ada aspek-aspek dari kegagalan itu yang akan membantu gerak kita selanjutnya.