Di jantung kawasan Kemang yang tak pernah lepas dari denyut kreativitas, edisi ke-15 Indonesian Contemporary Art & Design (ICAD) kembali hadir membawa tema yang begitu relevan sekaligus puitis: “Earth Society.”
Mulai 10 Oktober hingga 9 November 2025, grandkemang Hotel akan menjelma menjadi ruang dialog yang hidup, tempat seni, desain, dan manusia saling bersinggungan untuk menafsirkan kembali bagaimana kita hidup berdampingan dengan bumi.
Di bawah kurasi Prananda L. Malasan dan Jerrey David Aguilar, Earth Society tidak sekadar pameran, tetapi sebuah undangan untuk berdiskusi dan berefleksi. “Ini adalah ruang bagi para seniman, desainer, dan praktisi kreatif dari berbagai belahan dunia untuk membaca ulang hubungan kita dengan alam dan komunitas,” tulis para kurator, menegaskan nilai keberlanjutan, empati, dan kolektivitas sebagai dasar penciptaan.
Festival Director Edwin Nazir menambahkan, “ICAD selalu menjadi titik temu antara seni, desain, dan masyarakat. Tahun ini, kami ingin menegaskan kembali semangat kebersamaan, bukan hanya dalam merayakan kreativitas, tetapi juga dalam membayangkan masa depan kita bersama.”

Lebih dari 50 partisipan berkontribusi dalam lima kategori, Special Appearance, In Focus, Featured, Collaborations, dan Open Call, menjadikan ICAD 15 sebagai ekosistem ide yang kaya dan beragam. Salah satu sorotan utamanya adalah kehadiran karya Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden keenam Republik Indonesia, yang menafsirkan tema Earth Society secara reflektif dan personal. Festival ini juga memberikan penghormatan khusus kepada Profesor Emeritus Imam Buchori Zainuddin, tokoh pelopor desain produk Indonesia, melalui pameran yang menelusuri perjalanan dan kontribusinya dalam dunia desain.
Dalam kategori In Focus, pematung Yani Mariani Sastranegara dan desainer Ghea Panggabean menghadirkan karya yang menjembatani warisan dan inovasi. Sementara Featured memperluas percakapan ini ke panggung internasional, menghadirkan kreator dari Indonesia, Malaysia, Thailand, Taiwan, hingga Amerika Serikat. Salah satunya, seniman-aktivis asal Thailand Wishulada Panthanuvong, yang mengubah limbah menjadi karya estetis, membuktikan bahwa keberlanjutan dan keindahan bisa berjalan beriringan.
Kategori Open Call menjadi ruang bagi isu-isu penting masa kini: krisis iklim, sosial, politik, hingga perkotaan. Studio kreatif Kreaby menyoroti pentingnya ruang hijau di tengah kota, sementara Gevi Noviyanti bersama Arka Kinari mengangkat kisah tentang laut, sumber kehidupan yang kerap terlupakan.
Tak hanya pameran, ICAD 15 juga menghadirkan rangkaian program publik seperti talkshow, workshop, performance art, hingga pemutaran film. Di area lobi hotel, berdiri panggung komunal rancangan Trianzani Sulshi, yang bukan sekadar tempat kegiatan, tetapi simbol bagaimana perbedaan dan negosiasi dapat membentuk makna kebersamaan.
Selama lebih dari lima belas tahun perjalanannya, ICAD terus menjadi jembatan antara disiplin, generasi, dan budaya. Melalui kolaborasi internasional hingga program edukatif seperti ICAD Student Tour, festival ini memperkuat perannya sebagai ruang hidup bagi gagasan-gagasan baru, tempat di mana kreativitas berpadu dengan keberlanjutan.
Di tengah dunia yang terus berubah, Earth Society menjadi pengingat lembut bahwa hubungan manusia dan alam bukan hanya soal bertahan hidup, tetapi tentang empati, penciptaan, dan kesadaran bahwa kita semua adalah bagian dari satu ekosistem yang sama.













